MAKALAH SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAFSIR DI ERA KLASIK




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, para sahabat selalu merujuk pada beliau dalam memberikan solusi atas segala problem yang mereka hadapi. Sebab, saat itu wahyu masih berlangsung dan belum putus. Namun, setelah Rasulullah wafat, para sahabat dihadapkan sejumlah permasalahan yang kompleks. Sehingga pada saat itu para sahabat harus dengan mandiri memecahkan permasalahannya sendiri. Maka, penafsiran dan ijtihadlah yang menjadi sebuah alternatif.[1]
      Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ) . Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah sumber hukum islam pertama sekaligus petunjuk bagi manusia. Maka penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ini.
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Tafsir Al-qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur’an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur’an dan isinya, ilmu untuk memahami Al-Qur’an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur’an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsir bi al-ma’tsur dan at-tafsir bi-ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dsan corak sastra bidaya kemasyarakatan.
B.    Rumusan Masalah
      1.     Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad SAW?
      2.     Bagaimana perkembangan tafsir pada masa sahabat?
      3.     Bagaimana perkembangan tafsir pada masa tabi’in
      4.     Bagaimana perkembangan tafsir pada masa tabi’ tabi’in?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Tadsir Pasa Masa Nabi Muhammad saw.
            Pada masa Rasulullah tidak ada perbedaan penafsiran karena beliau sendiri yang menafsirkan. Untuk ayat-ayat yang sulit dan perlu penjelasan, namun penjelasan tersebut tidak kunjung datang dari Allah; beliau berijtihad. Apabila ijtihad yang dilakukan Nabi ternyata kurang tepat menurut pandangan Allah, tegurna dan koreksi dari-Nya akan segera datang.[2] Maka dapat kita simpulkan bahwa penafsiran pada masa Nabi merujuk pada Alquran dan ijtihad Nabi yang dibimbing langsung oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT.

الرَّحْمَانُ ﴿ ۱ ﴾ عَلَّمَ الْقُرْءَانَ ﴿ ٢ ﴾ خَلَقَ الْاِنْسَٰنَ ﴿ ٣ ﴾ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ﴿ ٤ ﴾
(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia, mengajarkannya pandai berbicara. (Q.S. Ar-Rahman : 14)

Penafsiran Alquran yang digunakan Rasulullah ialah menafsirkan Alquran dengan Alquran dan menafsirkan Alquran dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian disebut sunnah atau hadis. Alquran sifatnya murni semata-mata wahyu Allah, baik lafal maupun maknanya, sedangkan hadis – kecuali hadis Qudsi pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Alquran. Adapun mufassir pada masa Nabi Muhammad SAW. pada hakikatnya Nabi Muhammad sendiri sebagai mufassir tunggal. Sedangkan para sahabat baru menafsirkan Alquran setelah Nabi Muhammad SAW. wafat.[3]
Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cenderung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang mutlak, dan menjelaskan makna kata. [4]
Berikut ini contoh tafsir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW:
1.     Menjelaskan hal yang sulit. Misalnya, riwayat Ibnu Abbas yang berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Bagaimana pendapat engkau tentang firman Allah  كَمَا اَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِيْمِيْنَ (Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (kitab Allah)) (QS. Al-Hijr [15] : 90)? Nabi menjawab, ‘(mereka adalah) kaum Yahudi dan Nasrani.’ Laki-laki itu bertanya lagi, الَّذِيْنَ جَعَلُوْا الْقُرْءَانَ عِضِيْن ([yaitu] orang-orang yang telah menjadikan Alquran itu terbagi-bagi). (QS. Al-Hijr [15] :91). Apa ‘idhin itu?’ Nabi menjawab, ‘Orang-orang yang beriman dengan sebagian dan kufur dengan sebagian lainnya.”
2.     Memberikan batasan. Misalnya, firman Allah “potonglah tangan keduaya” (QS. Al-Maidah (5): 38), Nabi memberikan batasan dengan memotong tangan kanan.
3.     Memberikan suri teladan. Misalnya, Nabi memerintahkan untuk mencontoh cara shalat yang dilakukannya.[5]
B.    Perkembangan Tadsir Pasa Masa Sahabat
            Sahabat memegang peran yang penting dalam memahami Alquran. Mayoritas sahabat adalah keturunan Arab asli sehingga mereka mampu memahami Alquran dan mengetahui makna-maknanya berdasarkan kebahasaannya. Namun demikian, mereka juga kadang mengalami kesulitan, Ketika Nabi masih hidup, mereka langsung menanyakannya kepada beliau, sementara ketika beliau telah wafat, mereka berijtihad. Namun, tidak seluruh sahabat mahir dalam ilmu tafsir. Hal itu karena tidak semua sahabat memiliki kesempatan yang sama dalam menyertai Nabi dan mereka memiliki kemampuan berbeda-beda.
1.   Ciri Khusus Tafsir Masa Sahabat
            Ada beberapa ciri khusus yang terdapat dalam tafsir pada masa sahabat anata lain:
a.      Hanya sedikit dimasuki riwayat isra’iliyat karena Nabi merasa cukup dengan sumber Islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir sahabat tidak dikeruhkan oleh hawa nafsu serta terhindar dari perselisihan dan kedustaan. Adapun riwayat isra’iliyat ialah riwayat yang diterima dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah masuk Islam kemudian digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran.
b.     Belum mencakup keseluruhan Alquran karena banyak ayat yang telah jelas bagi mereka.
c.      Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami bahasa Arab.
d.     Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail sehingga menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.
e.      Kebanyakan masih berkisar tentang kebahasaan yang dipahami sesuai kalimat yang terpendek.
f.      Belum terpengaruh mazhab manapun tapi tafsir mereka merupakan hasil istinbath hukum fiqh.
g.     Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan melalui riwayat dari mulut ke mulut, kecuali Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang membukukan seluruh riwayat yang didengar dari Nabi.
h.     Tafsir belum dipisahkan dari hadis dan masih terpencar.[6]

2.   Sumber Rujukan Tafsir Sahabat
Pada masa Nabi sumber penafsiran adalah Alquran dan ijtihad beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat adalah sebagai berikut.
a.      Alquran dengan mencakup kalimat yang panjang dan pendek, global dan terperinci, mutlak dan muqayyad, serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi orang yang hendak menafsirkan Alquran, sebelumnya harus meneliti lalu mengumpulkan ayat’ayat berdasarkan kesamaan topik dan membandingkannya.
b.     Penjelasan Nabi. Ketika beliau masih hidup, sahabat langsung menanyakan segala persoalan kepada beliau. Sementara itu, ketika beliau telah wafat, persoalan dikembalikan kepada hadis karena tugas pertama beliau adalah menjelaskan. Hal ini sesuai dengan Surah An’Nahl (16) ayat 44.
c.      Ijtihad dan kemampuan untuk berristinbath. Hal ini dilakukan apabila di dalam dua sumber di atas tidak ditemukan jawaban. Akan tetapi, orang yang ingin berijtihad harus memenuhi syarat-syarat berikut.
1)     Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab.
2)     Mengetahui kebiasaan kaum Arab.
3)     Mengetahui perilaku Ahli Kitab pada masa turunnya Alquran.
4)     Mengetahui asbabun nuzul.
5)     Memiliki pemahaman yang kuat karena kebanyakan ayat Alquran maknanya halus dan maksudnya samar.
d.    Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dikarenakan sebagian Alquran sesuai dengan kitab Taurat dan Injil (yang asli), seperti kisah para nabi dan umat-umat terdahulu. Begitu juga dengan Alquran yang mencakup ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Injil, seperti kisah kelahiran Nabi Isa, hanya saja metode dan tujuan yang dipakai Alquran berbeda.[7]
3. Sahabat-sahabat yang Terkemuka dalam Bidang Ilmu Tafsir
Sahabat-sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir ada 10 orang, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, dan Abdullah bin Zubair.
Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa ialah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan buka khulafa ialah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Sifat tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna dari segi bahasa dengan keterangan-keterangan ringkas.[8]
4. Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat muncul tiga madrasah tafsir, yaitu madrasah Mekah, Madinah, dan Kufah.
a.      Mekah
Madrasah tafsir Mekah dipelopori oleh Abdullah bin Abbas yang dikenal dengan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas disebut sebagai sebaik-baik penerjemah Alquran karena sangat pandai dan memiliki ilmu yang melimpah tentang kitab Allah.
b.       Madinah
Madrasah tafsir di Madinah dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab, seorang ahli qiraah serta salah satu penulis wahyu. Pada suatu hari, ia diminta untuk membacakan Alquran kepada Nabi dan hal itu menjadi keistimewaan baginya.
c.      Kufah
Madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia adalah orang kedua yang membacakan Alquran secara terang-terangan di Mekah setelah Nabi. Ibnu Mas’ud pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena diminta untuk berdakwah dan mengajar di sana.[9]

5. Contoh Tafsir Masa Sahabat
Ibnu Abbas merupakan sahabat muda yang sangat mencintai ilmu bahasa Arab dan sastra. Di samping itu, ia memiliki hafalan yang sangat kuat. Dengan kemampuannya, Ibnu Abbas menjelaskan kosakata yang sulit dengan penjelasan yang memadai. Misalnya, firman Allah berikut.

وَ ظَنَنْتُمْ طَنَّ السَّوْءِ وَ كُنْتُمْ قَوْمَا بُوْرًا (12)
Dan kamu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk, karena itu kamu menjadi kaum yang binasa.” (QS. Al-Fath(48): 12)
            Kata buran ditafsirkan dengan halaka (binasa). Contoh lainnya adalah firman di bawah ini.
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَحَلِيْمٌ أَوَّهٌ مُّنِيْبٌ (75)
Ibrahim sungguh penyantun, lembut hati, dan suka kembali (kepada Allah (QS. Hud (11): 75)

            Halimun awwahun munibun, ditafsirkan dengan muqin yang dalam bahasa Habasyah artinya orang yang yakin.

C.    Perkembangan Tadsir Pasa Masa Tabi’in
            Masa Tabi’in ini di awali setelah berlalunya masa sahabat, yaitu dimulai dari generasi yang berguru dan menimba ilmu kepada para sahabat. Di dalam menafsirkan Al-Qur’an, para tabi’in tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Tabi’in, selain menggunakan empat sumber penafsiran sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat, yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi saw, Ijtihad dan Ahli Kitab, juga menambahkan satu sumber lagi yakni riwayat para sahabat. Yang dimaksud riwayat para sahabat disini adalah riwayat mereka tentang penjelasan-penjelasan Nabi termasuk juga tentang ijtihad-ijtihad mereka sendiri. Pada masa ini muncul madrasah-madrasah tafsir, diantaranya di Mekkah, Madinah, dan Irak.
1.   Madrasah tafsir di Mekkah
            Didirikan oleh Ibnu Abbas. Diantara para tabi’in yang berguru pada beliau adalah Sai’id bin Jubair, Mujahid bin Jabir, Ikrimah, dan Thowus bin Kaisan Al-Yamani.
2.   Madrasah tafsir di Madinah
            Didirikan oleh Ubay bin Ka’ab. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi.
3.   Madrasah tafsir di Irak
            Didirikan oleh Abdullah bin Mas’ud. Diantara murid-muridnya adalah Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Yazid, Marrah al-Hamdani, Amir as-Sya’bi, Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

            Karaktristik tafsir Al-Qur’an pada masa tabi’in :
a)   Mulai banyak dipengaruhi kisah-kisah israiliyat dan nasraniyat.
b)   Tafsir Al-Qur’an masih terikat dengan tradisi talaqqi dan riwayat sebagaimana masa Nabi saw dan sahabat.
c)   Mulai muncul banyak perbedaan mazhab yang diakibatkan oleh perbedaan dalam memaknai ayat Al-Qur’an.[10]
D.    Perkembangan Tadsir Pasa Masa Tabi’ Tabi’in
            Setelah masa tabi’in usai, datang masa tabi’ tabi’in. Pada masa ini perhatian mulai ditujukan kepada tafsir-tafsir yang dikutip dari Rasulullah sahabat, dan tabi’in. Pada masa ini pula tidak dibedakan antara madrasah-madrasah tafsir yang ada seperti yang terjadi pada masa tabi’in.
l. Pembukuan Tafsir
            Pada masa tabi’ tabi’in,  pembukuan tafsir mengalami perkembangan yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibukukan dalam kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Dengan demikian, kitab-kitab tersebut mencakup pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kitab-kitab generasi sebelumnya.
            Pada masa - masa sebelumnya memang ada beberapa tafsir yang telah dibukukan. Akan tetapi, belum mencakup seluruh Alquran. Di sisi lain, pembukuan pada masa itu masih bercorak seperti madrasah tafsir dan di dominasi oleh riwayat-riwayat yang masih bersifat global.[11]
2. Ciri Khusus Tafsir Tabi’ Tabi’in
             Penafsiran yang dilakukan oleh tabi’ tabi’in memiliki corak yang menonjol jika dibandingkan dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir tabi’ tabi’in:
a.    Fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, sahabat, maupun tabi’in.
b.   Tafsir Alquran belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis.
c.    Tidak hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga men cakup tafsir sahabat dan tabi’in.
             Pada masa ini, para mufasir mulai menekankan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra'yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya tiga madrasah tafsir pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah, dan Kufah.[12]
3. Mufasir yang Termasyhur pada Masa Tabi’ Tabi’in
            Tafsir pada masa ini telah dibukukan, tetapi masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis seperti pada bab thaharah, shalat, zakat, dan haji. Dengan kata lain, pada masa ini belum disusun buku tafsit yang menafsirkan surah demi surah dan ayat demi ayat dari awal Alquran hingga akhir.
            Proses pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufasir yang menyusunnya. Berikut ini mufasir-mufasir yang termasyhur pada masa tabi’ tabi’in: Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bin Sa’id At-Tsauri (W. 161 H), Waki’ bin Al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Yazid bin Harun (w. 206 H), Rauh bin Ubadah (w. 207 H), Abdurrazzaq bin Hamam Ash-Shan’ani, Imam Al-Bukhari (w. 211 H), Ishaq bin Rahuwaihi (w. 238 H), Adam bin Abi Iyas Al-Asqalani (w. 220 H).
            Dari sekian banyak kitab tafsir yang ada, dapat dikatakan bahwa yang sampai kepada kita hanya tiga, yaitu tafsir Sufyan bin Sa’id Ats- Tsauri (dicetak di India), tafsir Abdurrazzaq, dan tafsir Muqatil bin Sulaiman yang naskahnya telah dikumpulkan dan pada tahun 2001 mulai ditahkik.[13]
4. Contoh Penafsiran
      Pada masa ini , mayoritas mufasir menafsirkan Alquran secara kata per kata agar dapat memahaminya melalui Al-Quran itu sendiri. Model penafsiran seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Al-Quran menafsirkan bagian lainnya” (al-qur'an yufassiru ba’dhuhu badhan). Salah satu mufasir yang melakukan model seperti ini yaitu Muqatil bin Sulaiman. Ia seringkali menyatakan, “Ayat ini seperti ayat yang lain.[14] Berikut ini salah satu contohnya:

 وَلَا يُسْـَٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ
Dan orang - orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al-Qashash (28): 78)

Muqatil berkomentar, “Ayat ini selaras dengan Surah Ar-Rahman (55) ayat 41.

يُعْرَفُ الْمُجْرِمُوْنَ بِسِيْمَهُمْ
“Orang-orang yang berdosa itu diketahui dengan tanda-tandanya.(QS. Ar-Rahman (55): 41)


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
      Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan tafsir klasik berawal dari abad pertama hingga abad ketiga hijriyah. Tafsir pada masa klasik ini di mulai dari penafsiran Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat, lalu penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat dan para tabi’in. Pada realitasnya sejarah membuktikan bahwa interpretasi kaum muslim terhadap kitab sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari klasik hingga kontemporer tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an dipahami oleh generasi awal Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.

B.    Saran
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar pembaca pada mata kuliah Tafsir. Namun, kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar lebih baik lagi untuk makalah yang berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal baik bagi penulis. Amiin.



 DAFTAR PUSTAKA



Mundhir. 2015. Studi Kitab Tafsir Klasik (Analisis Historis-Metodologis).             Semarang : Karya Abadi Jaya
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Amzah.
Suma, M. Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Masyhuri. 2014. Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik:       Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah,   Hermeunetik, Vol.8.No. 2.





               [1]Masyhuri, Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah, Hermeunetik, Vol.8, No. 2, Desember 2014, hlm. 208-209.
[2]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), 93.
               [3]M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 322.
               [4]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,..., 51.
[5]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,....,52.
[6]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, ....., 54-55.
[7]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,....., 54.
[8]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,..., 56.
[9]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,...,62.
        [10]Mundhir, Studi Kitab Tafsir Klasik (Analisis Historis-Metodologis), (Semarang : Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. -11.
           [11]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 71-72.
           [12]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,..........hlm. 73.
           [13]Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,..........hlm. 72.
           [14] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir,..........hlm.73-74.

Comments

Popular posts from this blog

TUMBUHAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN SAINS

KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN (Pengertian, Teori, dan Tipe Kepemimpinan)

Metode Pembelajaran Card Short dan Role Playing (Karakteristik, Langkah-langkah, Kelebihan dan Kekurangan)