MAKALAH SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAFSIR DI ERA KLASIK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, para
sahabat selalu merujuk pada beliau dalam memberikan solusi atas segala problem
yang mereka hadapi. Sebab, saat itu wahyu masih berlangsung dan belum putus.
Namun, setelah Rasulullah wafat, para sahabat dihadapkan sejumlah permasalahan
yang kompleks. Sehingga pada saat itu para sahabat harus dengan mandiri
memecahkan permasalahannya sendiri. Maka, penafsiran dan ijtihadlah yang
menjadi sebuah alternatif.[1]
Secara
etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata
yang samar ) . Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap
Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti
berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandugan Al-Qur’an.
Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah sumber hukum islam pertama sekaligus
petunjuk bagi manusia. Maka
penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih
dari itu, suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk
melakukan ini.
Penafsiran al-quran telah dimulai
sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri,
kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya
sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu
yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Tafsir Al-qur’an adalah ilmu pengetahuan
untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur’an dan isinya
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan
kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami dan
samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an diperlukan bukan hanya
pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang
menyangkut Al-Qur’an dan isinya, ilmu untuk memahami Al-Qur’an ini disebut
dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur’an, terdapat dua
bentuk penafsiran yaitu at-tafsir bi al-ma’tsur dan at-tafsir bi-ar-ra’yi,
dengan empat metode, yaitu ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Sedangkan
dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi,
filsafat, tasawuf, ilmiyah dsan corak sastra bidaya kemasyarakatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa
Nabi Muhammad SAW?
2. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa sahabat?
3. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
4. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa tabi’ tabi’in?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tadsir Pasa Masa Nabi Muhammad saw.
Pada masa Rasulullah tidak ada perbedaan penafsiran karena beliau
sendiri yang menafsirkan. Untuk ayat-ayat yang sulit dan perlu penjelasan,
namun penjelasan tersebut tidak kunjung datang dari Allah; beliau berijtihad.
Apabila ijtihad yang dilakukan Nabi ternyata kurang tepat menurut pandangan
Allah, tegurna dan koreksi dari-Nya akan segera datang.[2] Maka dapat kita simpulkan
bahwa penafsiran pada masa Nabi merujuk pada Alquran dan ijtihad Nabi yang
dibimbing langsung oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT.
الرَّحْمَانُ
﴿ ۱ ﴾ عَلَّمَ الْقُرْءَانَ ﴿ ٢ ﴾ خَلَقَ الْاِنْسَٰنَ ﴿ ٣ ﴾ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
﴿ ٤ ﴾
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah
mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia, mengajarkannya pandai berbicara.” (Q.S.
Ar-Rahman : 14)
Penafsiran
Alquran yang digunakan Rasulullah ialah menafsirkan Alquran dengan Alquran dan
menafsirkan Alquran dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian disebut
sunnah atau hadis. Alquran sifatnya murni semata-mata wahyu Allah, baik lafal
maupun maknanya, sedangkan hadis – kecuali hadis Qudsi pada
hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Alquran. Adapun
mufassir pada masa Nabi Muhammad SAW. pada hakikatnya Nabi Muhammad sendiri
sebagai mufassir tunggal. Sedangkan para sahabat baru menafsirkan Alquran
setelah Nabi Muhammad SAW. wafat.[3]
Rasulullah
tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cenderung
tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai
sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum,
memberikan batasan untuk hal-hal yang mutlak, dan menjelaskan makna kata. [4]
Berikut
ini contoh tafsir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW:
1.
Menjelaskan hal yang sulit. Misalnya, riwayat Ibnu Abbas yang
berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Bagaimana
pendapat engkau tentang firman Allah كَمَا اَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِيْمِيْنَ (Sebagaimana (Kami telah
memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang
membagi-bagi (kitab Allah)) (QS. Al-Hijr [15] : 90)? Nabi menjawab, ‘(mereka
adalah) kaum Yahudi dan Nasrani.’ Laki-laki itu bertanya lagi, الَّذِيْنَ جَعَلُوْا الْقُرْءَانَ عِضِيْن ([yaitu] orang-orang
yang telah menjadikan Alquran itu terbagi-bagi). (QS. Al-Hijr [15] :91). Apa ‘idhin
itu?’ Nabi menjawab, ‘Orang-orang yang beriman dengan sebagian dan kufur
dengan sebagian lainnya.”
2.
Memberikan batasan. Misalnya, firman Allah “potonglah tangan keduaya”
(QS. Al-Maidah (5): 38), Nabi memberikan batasan dengan memotong tangan kanan.
3.
Memberikan suri teladan. Misalnya, Nabi memerintahkan untuk
mencontoh cara shalat yang dilakukannya.[5]
B. Perkembangan Tadsir Pasa Masa Sahabat
Sahabat memegang
peran yang penting dalam memahami Alquran. Mayoritas sahabat adalah keturunan
Arab asli sehingga mereka mampu memahami Alquran dan mengetahui makna-maknanya
berdasarkan kebahasaannya. Namun demikian, mereka juga kadang mengalami
kesulitan, Ketika Nabi masih hidup, mereka langsung menanyakannya kepada
beliau, sementara ketika beliau telah wafat, mereka berijtihad. Namun, tidak
seluruh sahabat mahir dalam ilmu tafsir. Hal itu karena tidak semua sahabat
memiliki kesempatan yang sama dalam menyertai Nabi dan mereka memiliki
kemampuan berbeda-beda.
1.
Ciri Khusus Tafsir Masa Sahabat
Ada beberapa ciri khusus yang terdapat dalam tafsir pada masa
sahabat anata lain:
a.
Hanya sedikit dimasuki riwayat isra’iliyat karena Nabi merasa cukup
dengan sumber Islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir sahabat tidak dikeruhkan
oleh hawa nafsu serta terhindar dari perselisihan dan kedustaan. Adapun riwayat
isra’iliyat ialah riwayat yang diterima dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
yang telah masuk Islam kemudian digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran.
b.
Belum mencakup keseluruhan Alquran karena banyak ayat yang telah
jelas bagi mereka.
c.
Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena mereka
hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami bahasa Arab.
d.
Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail sehingga
menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.
e.
Kebanyakan masih berkisar tentang kebahasaan yang dipahami sesuai
kalimat yang terpendek.
f.
Belum terpengaruh mazhab manapun tapi tafsir mereka merupakan hasil
istinbath hukum fiqh.
g.
Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan melalui
riwayat dari mulut ke mulut, kecuali Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang
membukukan seluruh riwayat yang didengar dari Nabi.
h.
Tafsir belum dipisahkan dari hadis dan masih terpencar.[6]
2.
Sumber Rujukan Tafsir Sahabat
Pada masa Nabi sumber penafsiran
adalah Alquran dan ijtihad beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada
masa sahabat adalah sebagai berikut.
a.
Alquran dengan mencakup kalimat yang panjang dan pendek, global dan
terperinci, mutlak dan muqayyad, serta umum dan khusus. Oleh sebab itu, bagi
orang yang hendak menafsirkan Alquran, sebelumnya harus meneliti lalu
mengumpulkan ayat’ayat berdasarkan kesamaan topik dan membandingkannya.
b.
Penjelasan Nabi. Ketika beliau masih hidup, sahabat langsung
menanyakan segala persoalan kepada beliau. Sementara itu, ketika beliau telah
wafat, persoalan dikembalikan kepada hadis karena tugas pertama beliau adalah
menjelaskan. Hal ini sesuai dengan Surah An’Nahl (16) ayat 44.
c.
Ijtihad dan kemampuan untuk berristinbath. Hal ini dilakukan
apabila di dalam dua sumber di atas tidak ditemukan jawaban. Akan tetapi, orang
yang ingin berijtihad harus memenuhi syarat-syarat berikut.
1)
Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab.
2)
Mengetahui kebiasaan kaum Arab.
3)
Mengetahui perilaku Ahli Kitab pada masa turunnya Alquran.
4)
Mengetahui asbabun nuzul.
5)
Memiliki pemahaman yang kuat karena kebanyakan ayat Alquran
maknanya halus dan maksudnya samar.
d.
Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dikarenakan sebagian
Alquran sesuai dengan kitab Taurat dan Injil (yang asli), seperti kisah para
nabi dan umat-umat terdahulu. Begitu juga dengan Alquran yang mencakup
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Injil, seperti kisah kelahiran Nabi
Isa, hanya saja metode dan tujuan yang dipakai Alquran berbeda.[7]
3.
Sahabat-sahabat yang Terkemuka dalam Bidang Ilmu Tafsir
Sahabat-sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir ada 10 orang,
yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, dan Abdullah bin Zubair.
Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa ialah
Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan
buka khulafa ialah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Sifat
tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna dari segi bahasa
dengan keterangan-keterangan ringkas.[8]
4.
Madrasah Tafsir pada Masa Sahabat
Pada
masa sahabat muncul tiga madrasah tafsir, yaitu madrasah Mekah, Madinah, dan
Kufah.
a. Mekah
Madrasah tafsir Mekah dipelopori oleh Abdullah bin Abbas yang
dikenal dengan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas disebut sebagai sebaik-baik penerjemah
Alquran karena sangat pandai dan memiliki ilmu yang melimpah tentang kitab
Allah.
b. Madinah
Madrasah tafsir di Madinah dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab, seorang
ahli qiraah serta salah satu penulis wahyu. Pada suatu hari, ia diminta untuk
membacakan Alquran kepada Nabi dan hal itu menjadi keistimewaan baginya.
c. Kufah
Madrasah tafsir Kufah dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia
adalah orang kedua yang membacakan Alquran secara terang-terangan di Mekah
setelah Nabi. Ibnu Mas’ud pindah ke Kufah pada masa kekhalifahan Umar karena
diminta untuk berdakwah dan mengajar di sana.[9]
5. Contoh Tafsir
Masa Sahabat
Ibnu Abbas merupakan sahabat muda yang sangat mencintai ilmu bahasa
Arab dan sastra. Di samping itu, ia memiliki hafalan yang sangat kuat. Dengan
kemampuannya, Ibnu Abbas menjelaskan kosakata yang sulit dengan penjelasan yang
memadai. Misalnya, firman Allah berikut.
وَ ظَنَنْتُمْ طَنَّ السَّوْءِ وَ كُنْتُمْ قَوْمَا بُوْرًا (12)
“Dan kamu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk, karena itu
kamu menjadi kaum yang binasa.” (QS. Al-Fath(48): 12)
Kata buran ditafsirkan dengan halaka (binasa). Contoh
lainnya adalah firman di bawah ini.
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَحَلِيْمٌ أَوَّهٌ مُّنِيْبٌ (75)
“Ibrahim sungguh penyantun, lembut hati, dan suka kembali (kepada
Allah” (QS. Hud (11): 75)
Halimun awwahun munibun, ditafsirkan dengan muqin yang dalam bahasa Habasyah artinya
orang yang yakin.
C. Perkembangan Tadsir Pasa Masa Tabi’in
Masa Tabi’in ini di awali setelah berlalunya
masa sahabat, yaitu dimulai dari generasi yang berguru dan menimba ilmu kepada
para sahabat. Di dalam menafsirkan Al-Qur’an, para tabi’in tidak jauh berbeda
dengan para sahabat. Tabi’in, selain menggunakan empat sumber penafsiran
sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat, yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi saw,
Ijtihad dan Ahli Kitab, juga menambahkan satu sumber lagi yakni riwayat para
sahabat. Yang dimaksud riwayat para sahabat disini adalah riwayat mereka
tentang penjelasan-penjelasan Nabi termasuk juga tentang ijtihad-ijtihad mereka
sendiri. Pada masa ini muncul madrasah-madrasah tafsir, diantaranya di Mekkah,
Madinah, dan Irak.
1.
Madrasah tafsir di Mekkah
Didirikan oleh Ibnu
Abbas. Diantara para tabi’in yang berguru pada beliau adalah Sai’id bin Jubair,
Mujahid bin Jabir, Ikrimah, dan Thowus bin Kaisan Al-Yamani.
2.
Madrasah tafsir di Madinah
Didirikan
oleh Ubay bin Ka’ab. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Zaid bin
Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi.
3.
Madrasah tafsir di Irak
Didirikan
oleh Abdullah bin Mas’ud. Diantara murid-muridnya adalah Alqamah bin Qais,
Masruq, Aswad bin Yazid, Marrah al-Hamdani, Amir as-Sya’bi, Hasan al-Bashri,
dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Karaktristik
tafsir Al-Qur’an pada masa tabi’in :
a)
Mulai banyak dipengaruhi kisah-kisah israiliyat dan nasraniyat.
b)
Tafsir Al-Qur’an masih terikat dengan tradisi talaqqi dan riwayat
sebagaimana masa Nabi saw dan sahabat.
c)
Mulai muncul banyak perbedaan mazhab yang diakibatkan oleh perbedaan
dalam memaknai ayat Al-Qur’an.[10]
D. Perkembangan Tadsir Pasa Masa Tabi’ Tabi’in
Setelah
masa tabi’in usai, datang masa tabi’ tabi’in. Pada masa ini perhatian mulai
ditujukan kepada tafsir-tafsir
yang dikutip dari Rasulullah sahabat, dan tabi’in. Pada masa ini pula tidak
dibedakan antara madrasah-madrasah
tafsir yang ada seperti yang terjadi pada masa tabi’in.
l. Pembukuan
Tafsir
Pada
masa tabi’ tabi’in, pembukuan tafsir
mengalami perkembangan yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibukukan
dalam kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Dengan
demikian, kitab-kitab
tersebut mencakup pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan
kitab-kitab generasi
sebelumnya.
Pada
masa - masa sebelumnya memang ada beberapa tafsir yang telah dibukukan. Akan
tetapi, belum mencakup seluruh Alquran. Di sisi lain, pembukuan pada masa itu
masih bercorak seperti
madrasah tafsir dan di
dominasi oleh
riwayat-riwayat yang masih
bersifat global.[11]
2. Ciri Khusus Tafsir
Tabi’ Tabi’in
Penafsiran yang dilakukan oleh tabi’ tabi’in
memiliki corak yang menonjol jika dibandingkan
dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir tabi’ tabi’in:
a.
Fokus
pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, sahabat, maupun tabi’in.
b.
Tafsir
Alquran belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis.
c.
Tidak
hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga men cakup tafsir
sahabat dan tabi’in.
Pada
masa ini, para mufasir mulai menekankan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi
ar-ra'yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya tiga madrasah tafsir
pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah, dan Kufah.[12]
3. Mufasir yang
Termasyhur pada Masa Tabi’ Tabi’in
Tafsir
pada masa ini telah dibukukan, tetapi masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis
seperti pada bab thaharah, shalat, zakat, dan haji. Dengan kata lain, pada masa
ini belum disusun buku tafsit yang menafsirkan surah demi surah dan ayat demi
ayat dari awal Alquran hingga akhir.
Proses
pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufasir yang menyusunnya.
Berikut ini mufasir-mufasir
yang termasyhur pada masa tabi’ tabi’in: Muqatil
bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah
bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bin Sa’id At-Tsauri (W. 161 H), Waki’ bin Al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198
H), Yazid bin Harun (w. 206 H), Rauh bin Ubadah (w. 207
H), Abdurrazzaq bin Hamam
Ash-Shan’ani, Imam Al-Bukhari (w. 211 H), Ishaq bin Rahuwaihi (w.
238 H), Adam bin Abi Iyas
Al-Asqalani (w. 220 H).
Dari
sekian banyak kitab tafsir yang ada, dapat dikatakan bahwa yang sampai kepada
kita hanya tiga, yaitu tafsir Sufyan bin Sa’id Ats- Tsauri (dicetak di India),
tafsir Abdurrazzaq, dan tafsir Muqatil bin Sulaiman yang naskahnya telah
dikumpulkan dan pada tahun 2001 mulai ditahkik.[13]
4. Contoh
Penafsiran
Pada
masa ini ,
mayoritas mufasir menafsirkan Alquran secara kata per kata agar dapat
memahaminya melalui Al-Qur’an itu sendiri. Model
penafsiran seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Al-Qur’an menafsirkan bagian
lainnya” (al-qur'an
yufassiru ba’dhuhu badhan). Salah satu mufasir yang melakukan model seperti ini
yaitu Muqatil bin Sulaiman.
Ia seringkali menyatakan, “Ayat ini
seperti ayat yang lain.[14] Berikut ini salah satu
contohnya:
وَلَا يُسْـَٔلُ عَن
ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ
“Dan
orang - orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang
dosa-dosa mereka.”
(QS. Al-Qashash
(28): 78)
Muqatil berkomentar, “Ayat ini
selaras dengan Surah Ar-Rahman (55) ayat 41.”
يُعْرَفُ الْمُجْرِمُوْنَ بِسِيْمَهُمْ
“Orang-orang yang berdosa itu diketahui dengan tanda-tandanya”.(QS.
Ar-Rahman (55): 41)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah
perkembangan tafsir klasik berawal dari abad pertama hingga abad ketiga
hijriyah. Tafsir pada masa klasik ini di mulai dari penafsiran Nabi Muhammad
terhadap ayat-ayat, lalu penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat dan para tabi’in. Pada
realitasnya sejarah membuktikan bahwa interpretasi kaum muslim terhadap kitab
sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan
budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari klasik hingga kontemporer
tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an dipahami oleh generasi awal
Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir
generasi berikutnya.
B. Saran
Makalah
ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar pembaca pada mata kuliah Tafsir. Namun, kami juga
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar lebih baik lagi untuk
makalah yang berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi
amal baik bagi penulis. Amiin.
Mundhir.
2015. Studi Kitab Tafsir Klasik (Analisis Historis-Metodologis). Semarang : Karya
Abadi Jaya
Samsurrohman. 2014. Pengantar Ilmu
Tafsir. Jakarta: Amzah.
Suma, M. Amin. 2013. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Masyhuri. 2014. Merajut Sejarah
Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah
Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah, Hermeunetik, Vol.8.No. 2.
[2]Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), 93.
[8]Samsurrohman,
Pengantar Ilmu Tafsir,..., 56.
[9]Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir,...,62.
Comments
Post a Comment